UNIKAMA – Wakil Walikota Malang menyebut gesekan multikultur berbau agama di Kota Malang, masih teredam dengan baik lewat adanya Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). Meski demikian, Wawali Sutiaji mengatakan penganut paham ekstrem masih ada di Kota Malang, dan tersamar di sekitar masyarakat.
“Berdasarkan informasi dari BIN karena saya Ketua Komunitas Intelejen Daerah (Kominda), ada ekstrem kiri di kampus yang menyebut dirinya ‘bebas Tuhan’. Sisi lain, ada ekstrem kanan yang ingin ubah tatanan secara revolusioner dengan khilafah,” ujar Sutiaji saat diwawancarai kemarin di Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama).
Menurut Sutiaji, munculnya aliran garis keras kiri, tak lepas dari akumulasi rasa tidak puas terhadap pemerintah. Pasalnya, para ekstrem kiri ini menganggap negara sosialis dan kapitalis bisa makmur meski tanpa berdasar ketuhanan. Pemerataan ekonomi yang bagus, membuat paham ekstrem kiri muncul dan menentang sistem pemerintahan Indonesia yang berdasar ketuhanan.
Semuanya kembali kepada pemenuhan kebutuhan dasar. Yakni, kepastian hukum, jaminan hukum dan kelangsungan hidup. Urusan wajib pemerintah kepada rakyatnya, bisa dirinci, yakni infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Pendek kata, kemakmuran rakyat, akan berdampak langsung pada kelahiran ekstrem kanan atau kiri.
“Jika kebutuhan masyarakat terpenuhi, jika perut rakyat terisi, maka tidak akan pernah ada ekstrem kanan atau kiri. Aliran garis keras itu muncul kan karena ketidakpuasan dan gagalnya pemerataan ekonomi. Karena itu, saya sebagai bagian pemerintah, juga mendorong pemerataan,” jelasnya.
Dia mengatakan, dasar ideologi Indonesia, yakni empat consensus Bhineka Tunggal Ika, UUD, Pancasila dan NKRI, harus disupport penuh oleh pemerataan ekonomi. Sehingga, upaya disintegrasi bangsa bisa diredam. Sutiaji menilai, demonstrasi di Kota Malang dari kelompok etnis tertentu, untuk meminta merdeka dari Indonesia, juga tak lepas dari ketimpangan pemerataan ekonomi.
“Secara agama, Kota Malang ada benteng FKUB. Tapi, kepastian hukum untuk semua warga Indonesia, juga dibutuhkan demi menghindari gesekan ras etnis yang berbau separatis. Produk hukum harus bisa memberi kepastian, dan mengayomi semua, bukan satu kelompok tertentu,” tutup Sutiaji. (erma)
No related posts.