UNIKAMA – Kegiatan pembangunan bagaimanapun akan berdampak pada eksistensi penguasaan dan pemilikan tanah oleh rakyat, khususnya tanah pertanian oleh petani. Untuk itu, mereformasi hukum agraria dianggap menjadi satu-satunya cara untuk melindungi hak pribumi itu sendiri.
Guru Besar Hukum Prof. Dr. H. Achmad Sodiki, SH mengatakan, banyaknya partai politik yang ada di Indonesia terjadi kesimpangsiuran. Sehingga tidak nampak aktualisasi pertumbuhan fasilitas untuk saling menyatukan.
“Untuk mempermudah menyatukan komponen masyarakat tidak perlu banyak partai, cukup tiga saja, PDIP, PPP, dan Golkar. Banyaknya partai tidak menunjukkan bahwa untuk menyatukan departemen yang ada di Indonesia bukanlah prioritas,” ungkapnya pada kuliah umum yeng bertema Politik Hukum Agraria di Indonesia, Fakultas Hukum dan program studi PPKn Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama), 24/9 kemarin.
Hal ini diperparah dengan kesimpangsiuran ketatanegaraan masing-masing departemen yang membuat aturan masing-masing. Bahkan, semua departemen berencana menyusun undang-undang di departemannya.
Dengan ini, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten. Sehingga terjadi kesimpangsiuran salah satunya antara peta kabupaten dan peta kehutanan. Dengan demikian, maka TAP nomor 9 tahun 2001 memerintahkan adanya singkronisasi kesatuan per undang-undang. Selanjutnya hal tersebut nantinya akan di evaluasi pada era reformasi, tambahnya.
Menurutnya, untuk menjadi negara yang modern, Indonesia tetap berwujud negara agraris. Salah satu caranya dengan menjadikan reformasi agraria sebagai landasan pembangunan.
“Dalam reformasi birograsi tidak perlu banyak meja, satu atau dua saja, kunjungan ke pelabuhan. Hal semacam itu bagian dari reformasi yang menyokong adanya pertumbuhan ekonomi. Kalau tidak, kita akan ketinggalan dengan negara-negara lain,” tuturnya. (dinog)
No related posts.